Guru Kunci Sukses Pendidikan di Era 4.0

Banyak pernyataan, kunci pendidikan ada di guru. Kurikulum dan kelas apaapun jika guru tidak bagus maka semua tidak bagus. Guru harus siap mengimplementasikan teknologi dalam pengajarannya

Jakarta, Swakarya.Com. (12/10). Era 4.0 menciptakan disrupsi. Di dunia pendidikan, diperkirakan 65 persen anak yang masuk sekolah dasar saat ini kelak akan bekerja pada mata pencaharian baru di masa depan.

Hal itu dibahas dalam Lokakarya Nasional kedua yang dihelat DPP LDII. Kali ini mengambil gagasan pendidikan dengan tema Peningkatan Kualitas SDM Berbasis Digital.

Sebagai pembicara utama, Kepala Pusat Teknologi Informasi Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud RI Gogot Suharwoto mengatakan bahwa Era 4.0 sudah mendunia dan kita bersinggungan dengannya. Sebut saja teknologi penyimpanan data berbasis cloud, kecerdasan buatan, dan Internet of Thing (IOT).

Bagaimana kaitannya dengan dunia pendidikan? Gogot Suharwoto memberikan gambaran. Anak milenial kini sejak lahir sudah terpapar teknologi digital. Misalkan ayah memposting foto anaknya yang baru lahir ke media sosial. Anak-anak milenial kini memiliki akses smartphone dan menghabiskan sedikitnya tiga jam dalam sehari.

“Kita perlu memahami generasi yang kita hadapi. Bahannya apa? Kita ingin membuat kendi maka bahannya dari tanah liat. Kita harus tahu, anak-anak yang lahir terpapar internet secara genetik sudah berbeda dengan guru yang lahir di tahun 80-an,” ujarnya yang diterima redaksi Swakarya.com.

Maka, pendidikan saat ini harus selaras dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0. Output pendidikan harus mampu menyiapkan lulusan yang siap menghadapi masa dimana mereka akan menjalani hidup kedepannya.

Gogot Suwoto menambahkan, generasi milenial harus memiliki skill atau keterampilan berpikir kritis, berkolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Mereka perlu mendapatkan pengalaman belajar yang bervariasi mulai dari yang sederhana sampai pengalaman belajar yang bersifat kompleks. Ia sangat berharap guru-guru Indonesia terus berbenah diri.

“Banyak pernyataan, kunci pendidikan ada di guru. Kurikulum dan kelas apaapun jika guru tidak bagus maka semua tidak bagus. Guru harus siap mengimplementasikan teknologi dalam pengajarannya,” ia menegaskan.

Sejak tahun 2007 hingga dibentuknya kurikulum tahun 2013, guru sudah diarahkan memiliki kompetensi memanfaatkan teknologi untuk pengajaran. Minimal mampu membuat konten pembelajaran berbasis teknologi.

Guru juga harus memperhatikan prinsip mampu menerapkan teknologi yang terintegrasi, sistematis, dan efektif. Walaupun demikian, teknologi tetaplah alat. Agar siswa-siswa di era milenial mampu bekerja sama dan termotivasi, guru memiliki peran yang penting.

“Harus ada perubahan, guru yang biasanya instruksi artinya gaya memerintah harus dirubah menjadi gaya konstruksi, anak-anak bisa terlibat sehingga bisa membentuk pemahamannya masing-masing,” ujarnya.

Untuk mengakomodir hal itu, Kemendikbud memiliki platform digital berupa Rumah Belajar. Di dalamnya terdapat konten audio visual yang dapat diunggah oleh para pakar pendidik. Contohnya adalah simulasi pembelajaran.

Di waktu yang sama, LDII melaunching Pondok Belajar Profesional Religius yang bisa diakses di Pondokbelajar.ldii.or.id. platform digital ini mengakomodasi para pelaku dan pakar pendidikan dilingkungan LDII seperti guru, mubaligh mubalighot, orang tua, pamong, yayasan, hingga ketua pesantren.

Gogot Suhartowo pun berharap, platform ini dapat bersinergi dengan platform Rumah Belajar Kemendikbud. Soal kerjasama, ia sangat terbuka karena pada dasarnya, Rumah Belajar Kemendikbud pun berbasis APBN yang berasal dari rakyat.

“Jika LDII mau mengadaptasi konten yang ada, kami punya 40.000 konten audio visual. Kami juga akan memberikan pelatihan pada guru-guru LDII,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait