Dilema Guru Honorer di Era Covid 19


Penulis :Eqi Fitri Marehan, Anggota ATPUSI Kab Bangka

Swakarya.Com. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak henti-hentinya mengingatkan bahwa Pandemi  global corona virus atau lebih  dikenal dengan COVID-19, terus menunjukkan trend yang meningkat di seluruh belahan dunia. Di Indonesia, dampak penularannya bukan saja mengguncang sektor kesehatan tetapi sektor-sektor lain juga mengalami pukulan berat.

Sejak wabah pandemi Covid-19 banyak sektor mengalami perubahan yang signifikan. Tidak hanya para pekerja harian di sektor informal saja yang sangat terdampak wabah Covid-19 secara perekonomian, para pendidik dengan status honorer pun turut merasakannya.

Di sektor pendidikan, sejumlah guru honorer yang berpenghasilan rendah mulai gundah-gulana. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing atau psycal distancing) untuk menekan penyebaran penularan virus corona. 

Banyak para guru yang harus terpaksa dirumahkan atau mengalami penurunan pendapatan, beralih profesi menjadi tukang parkir, pemulung, dan lain-lain sekadar menyambung hidup. Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah.

Setelah adanya imbauan untuk tidak berkegiatan di luar rumah, mayoritas sekolah-sekolah diliburkan. Penyaluran bantuan operasional sekolah pun turut terhambat. Alhasil, para guru honorer yang biasanya mendapatkan tunjangan dari dana ini pun otomatis tidak mendapatkan haknya. Terlebih, banyak dari mereka yang diupah berdasarkan dari kehadiran dalam sebulan

Selama pandemi Covid-19, jutaan guru honorer menghadapi situasi sulit dengan pendapatan yang tidak jelas. Mereka tidak lagi hadir di ruang-ruang kelas, padahal selama ini mereka digaji per jam sesuai dengan jam pengajaran mereka. Lebih parahnya, guru-guru di sekolah swasta mengalami nasib yang jauh lebih parah. Mengapa? Karena anak didik dan orang tua anak didik enggan membayar uang sekolah selama masa belajar di rumah.

Metode pembelajaran dalam jaringan atau daring (online learning) yaitu pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan perangkat komputer ada gadget, diterapkan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. 

Penerapan kebijakan pembelajaran daring memang mengalami sejumlah kendala terutama bagi sekolah-sekolah yang ada di pedesaan. Pada tingkat teknis operasional tidak semua guru dan siswa siap mengoperasikan sistem pembelajaran jarak jauh  termasuk mempersiapkan bahan ajar secara digital.

Di pedesaan –mungkin juga di sebagian perkotaan– tidak semua siswa memiliki perangkat penanujang seperti Gadget, HP atau Laptop/komputer. Murid yang tidak punya perangkat tidak dapat bekerja sama dengan murid yang punya perangkat, karena ada kebijakan pembatasan jarak sosial yang menghindari perjumpaan. Sehingga perlu model lain yaitu pembelajaran mandiri (bukan belajar sendiri).

Di luar itu, para guru honorer praktis semakin galau. Selain tidak dapat lagi me-nyambi pekerjaan lain, mereka juga tidak mendapatkan tunjangan profesi dan tunjangan kinerja  sebagaimana ASN. Sedangkan tugasnya sebagai guru untuk memenuhi beban mengajar juga menjadi masalah baru.

Mereka harus mengeluarkan biaya untuk pembelian pulsa dan paket data. Belum lagi biaya rumah tangga dan kebutuhan keluarga yang tidak sedikit. Mereka juga harus memperhatikan asupan makanan untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus corona.

Meskipun pemerintah memberlakukan model pembelajaran jarak jauh atau juga pembelajaran mandiri, para guru termasuk guru honorer tidak benar-benar ‘libur’, sebab di beberapa daerah masih ada kegiatan piket guru di sekolah. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan administrasi dan pelayanan sekolah tetap berjalan serta kondisi sekolah tetap bersih dan aman.

Hidup matinya proses pendidikan juga ditentukan oleh guru honorer. Kehadiran guru honor dalam kondisi tertentu sangat membantu guru PNS. Jamak diketahui, guru (PNS) di negeri ini dituntut memenuhi administrasi yang memberatkan. Tidak jarang mereka meninggalkan sekolah karena disibukkan mengurus administrasi. Di sini guru honor sering diminta mengajar di kelas yang ditinggalkan guru PNS.

Walau memiliki peran penting, namun derita guru honor di negeri ini masih terjadi. Cerita minor tenang nasip mereka masih mewarnai dunia pendidikan tanah air. Tindakan diskriminasi masih kerap dialami guru honorer. Penghargaan terhadap jasa mereka belum sebanding dedikasi yang diberikan. Kesejahteraan guru honor baik material maupun non material masih jauh dari layak.

Kesejahteraan material berkaitan dengan upah yang diterima. Secara umum imbalan material yang didapat belum setara dengan beban kerja. Banyak guru honorer yang masih diupah secara tidak layak. Gaji mereka masih di bawah standar UMR. Mereka juga tidak mendapat tunjangan sebagaimana guru PNS.

Kesejahteraan non material misalnya dalam hal posisi tawar guru honor. Dalam posisi tertentu, guru honor masih dianggap guru “kelas dua.” Posisi tawar mereka tidak sekuat guru PNS. Misalnya, guru honorer tidak diperkenankan menduduki jabatan dan atau menjalankan tugas tertentu karena status mereka bukan pegawai negeri. Fakta nasib guru honorer yang masih memprihatinkan harus menjadi perhatian semua pihak.

Saat ini kebijakan belajar dari rumah yang diterapkan akibat pandemi covid-19 terus diperpanjang. Kondisi ini bagi guru PNS tidak menjadi soal. Namun dalam diri guru honor muncul kekhawatiran. Timbul pertanyaan dalam benak: Bagaimana gaji mereka? Bagaimana memenuhi kebutuhan mereka? Bagaimana menjalankan pembelajaran jarak jauh yang membutuhkan biaya? Perpanjangan masa belajar dari rumah membuat nasip guru honor menjadi tidak menentu. 

Semoga wabah ini segara berakhir dan Indonesia mampu keluar bersama-sama sebagai ‘pemenang’ secara cerdas dan berbudi luhur. Semua kebijakan dan langkah diambil dan dilaksanakan secara cerdas penuh pertimbangan keluhuran budi (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *