Denny JA Tentang Masa Depan Kebebasan (7) Ketika Negara Terlalu Dominan, Dan Kebebasan Anak Tiri

  • Kasus Perancis dan lainnya

*Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di FB Esoterika- Islamika, yang diasuh AE Priyono*

Swakarya.Com. Ketika dalam sistem demokrasi, kebebasan menjadi anak tiri, disensor atas nama stabilitas politik, atas nama isu persamaan, atas nama mendahulukan pertumbuhan ekonomi, berkembang pemerintahan yang tak terkontrol.

Lihatlah sejarah Perancis sebelum perang dunia pertama.

Pada abad ke-18 sebenarnya di Eropa sudah berkembang pemerintahan borjuis yang representatif dengan ciri-ciri rule of law, kesetaraan di depan hukum, kekayaan privat, kebebasan usaha, hak-hak sipil. Tapi semua ciri ini tidak ditemukan di Prancis sebelum terjadinya revolusi. Ini yang menyebabkan bahkan setelah revolusi, tradisi liberalisme konstitusional tidak dikembangkan.

Tanpa tradisi liberalisme konstitusional, demokrasi Prancis menjadi demokrasi totalitarian. Kaum revolusioner Prancis marah-marah kepada Montesquieu yang mendesakkan gagasan-gagasan mengenai pemerintahan terbatas dan devided-government. Atau pemerintahan yang didasarkan pada pemisahan kekuasaan.

Kaum revolusioner menginginkan pemerintahan dengan kekuasaan yang tak terbatas. Itu sebabnya setelah revolusi mereka hanya mengalihkan kekuasaan tak terbatas Raja ke parlemen. Parlemen seperti ini akhirnya memiliki kekuasaan menahan dan membunuh ribuan orang, merampas harta mereka, menghukum mereka yang berbeda keyakinan agama – semuanya atas nama rakyat.

Prancis menempatkan negara di atas masyarakat, demokrasi di atas konstitusionalisme, kesetaraan di atas kebebasan. Itu sebabnya sampai abad ke-19, Prancis memiliki jenis demokrasi yang sulit sekali mengembangkan liberalisme.

Perancis memang memperluas hak pilih di kalangan rakyat. Tapi ia menjadi tanah air yang kurang aman bagi kebebasan individual dibandingkan Inggris dan Amerika.

Kaisar Louis Napoleon yang memerintah Prancis sejak 1848-1870 mewakili ciri dari rezim yang menjalankan kekuasaan campuran. Dia memerintah dengan persetujuan parlementer, menjalankan pemilihan umum dan refrendum, tapi menjalankan pula metode negara polisi.


Meskipun dilanda oleh macam-macam ancaman, benih-benih demokrasi liberal di Eropa tidak pernah mati.

Tradisi demokrasi liberal memang nyaris dikalahkan di Eropa selama abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Tetapi pada kenyataannya benih-benih demokrasi liberal itu obor yang mungkin redup tapi selalu hidup.

Dihajar oleh hiperinflasi dan akhirnya Depresi Ekonomi, Eropa akhirnya jatuh ke dalam fasisme dan kediktatoran. Tapi setelah 1945, dengan bantuan Amerika Serikat, pelan-pelan Eropa bangkit kembali dengan tatatan politik baru.

Selama dasawarsa pertama pada abad ke-20, Eropa mengalami perubahan-perubahan dramatis Perang Dunia Pertama hampir sepenuhnya menumbangkan kekuasaan-kekuasaan monarki di Eropa. Tapi kekosongan kekuasaan feodal ini akhirnya digantikan oleh fasisme dan jenis kediktatoran baru.

Jerman misalnya — yang sejak tahun 1900 sudah memiliki sistem pemerintahan yang progresif dan menjadi negara kesejahteraan pertama di dunia — akhirnya dikalahkan dalam perang. Dua juta penduduknya tewas, negaranya berantakan. Jerman ditinggalkan oleh sebagian besar penduduknya yang tersisa.

Tapi depresi ekonomi dunia mengharuskan orang-orang Jerman yang tinggal di Polandia, Rusia, dan Eropa Timur, pulang kembali ke Jerman. Mereka akhirnya mendukung Hitler yang menjanjikan kembali Jerman Raya. Jerman jatuh ke dalam kediktatoran.

Pada dekade 1930an liberalisme menghadapi ancaman dari kanan oleh kaum fasis, dari kiri oleh kaum komunis.

Kedua ancaman itu sama-sama menggunakan demokrasi untuk menghancurkan liberalisme. Contoh terbaik kombinasi kedua ancaman ini dikerjakan oleh Hitler.

Melalui pemilu Hitler mengkampanyekan sosialisme untuk mencari dukungan kaum buruh industrial. Ia juga mengkampanyekan nasionalisme untuk memperoleh dukungan kaum tani agraris. Ia akhirnya mendirikan Nationalistsozialism (Nazi) dan menjadi diktator Jerman.

Aliansi negara-negara Barat akhirnya menggalang kekuatan untuk menghadapi kedua ancaman kanan-kiri itu.

Ancaman terhadap demokrasi liberal dari kanan – pertama oleh kaum feodal dan berikutnya oleh kaum fasis – dipatahkan pada tahun 1945 melalui Perang Dunia Kedua.

Meskipun demikian kekuasaan feodal masih bertahan di wilayah Iberia – masih ada Fransico Franco di Spanyol dan Antonio Salazar di Portugal. Kedua kerajaan ini, untungnya, tidak bersifat ekspansif seperti Jerman di bawah Hitler.

Ancaman dari arah kiri datang dari gerakan kiri komunis yang sering didukung oleh Uni Soviet. Tetapi seperti terhadap Jerman, aliansi Barat juga mengalahkan Moscow.

Eropa Barat akhirnya memenangkan Perang Dunia Kedua, dan melalui program Marshall Plan, Amerika membantu melakukan restorasi Eropa menuju demokrasi liberal.

Eropa Selatan dan Eropa Timur lebih terlambat mengikuti jalan demokrasi liberal yang ditempuh Eropa Barat.

Lebih dari 20 tahun sejak Perang Dunia Kedua, Eropa Selatan menjadi demokrasi penuh. Ini terjadi di Yunani, Spanyol, dan Portugal sejak 1970an.

Lebih dari 40 tahun sejak Perang Dunia Kedua, Eropa Timur akhirnya juga menempuh jalan demokrasi liberal. Ini yang terjadi misalnya di Polandia, Czechoslovakia, dan Hungaria, terutama sejak tumbangnya Uni Soviet pada 1989. Sedangkan Romania dan Bulgaria masih berjuang menuju ke sana.


Kini hampir semua negara Eropa memiliki pemerintahan demokrasi liberal konstitusional, meski dengan derajat yang berbeda-beda.

Ciri pemerintahan demokrasi liberal konstitusional antara lain adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen, pemilu multipartai, hak pilih universal, kontrol sipil terhadap kekuasaan militer dan polisi, hak dan kebebasan berserikat dan beribadah, kelas menengah yang luas, dan ekonomi konsumen yang berkembang.

Ciri-ciri inilah yang kini terdapat di negara-negara Eropa, buah dari revolusi demokratik selama masa pertengahan kedua abad ke-20.

Kesuksesan demokrasi politik suatu negara bisa diukur dengan kesuksesan ekonominya.

Pada 1959, seorang ilmuwan politik terkemuka, Seymour Martin Lipset, membuat pernyataan sederhana tapi sangat penting: “makin serius sebuah bangsa bekerja, makin besar peluangnya untuk mempertahankan demokrasi.”

Lipset berpandangan bahwa begitu negeri-negeri berkembang ekonominya, maka masyarakatnya akan mengembangkan pula kekuatan dan ketrampilannya untuk menjalankan pemerintahan demokratik.

Tesis riset ini bukannya tanpa gugatan. Banyak ilmuwan politik mempertanyakan asumsinya. Tapi selama 40an tahun mengumpulkan berbagai data, memperdebatkan temuan-temuannya, kebenaran peryataannya masih sangat meyakinkan.

Di Perancis sebelum perang dunia pertama sempat berkembang praktek politik demokrasi campuran: negara di atas masyarakat. Sentimen pemerataan terlalu kuat mengalahkan kebebasan. Setelah perang dunia kedua, Perancis berangsur tumbuh dan berubah menjadi demokrasi plus kebebasan.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *