Denny JA Tentang Masa Depan Kebebasan (15) Pilihan Sulit: Politik Otoriter Atau Fundametalisme Agama?

  • Kasus Dunia Arab dan Kawasan Muslim

*Esai ini mengedit dengan data terbaru tulisan asli di Facebook Esoterika-Islamika, yang diasuh AE Priyono*

Swakarya.Com. Ada apa dengan negara yang mayoritasnya Muslim? Mengapa tak satupun dari puluhan negara yang mayoritasnya Muslim masuk dalam rangking 41 negara paling demokratis dan bebas di dunia?

Economist Inteligence Unit menyusun skor democracy index setiap tahun. Data mutakhir tahun 2019 sudah dipublikasi. Lembaga ini memberikan skor 0-10. Semakin tinggi skor, semakin demokratis dan bebas sebuah negara.

Rangking tertinggi 1-20 negara demokrasi plus kebebasan didominasi oleh negara barat. Umumnya negara itu dari Eropa dan Amerika Serikat. Agama dominan di sana umumnya Protestan dan Katolik.

Dari urutan 20-41, negara yang masuk rangking mulai beragam. Di dalamnya terdapat negara Asia sampai Amerika Latin. Ada Korea Selatan, Jepang, Israel, Afrika Selatan, bahkan Timor Leste.

Tapi mengapa tak satupun negara yang penduduknya mayoritas Muslim di sana? Kebetulankah? Atau ada sesuatu dalam interpretasi agama ini yang membuatnya sulit menerima kebebasan dan demokrasi?

Kita teringat ucapan terkenal Yaser Arafat. Ketika itu Presiden Clinton mendesak pemimpin Palestina Yasser Arafat menyetujui rencana perjanjian perdamaian Camp David. Perjanjian itu baru saja selesai dirundingkan pada Juli 2001.

Arafat dilaporkan menjawab Clinton dengan kata yang menyentak. “Jika Anda meminta Palestina memilih damai dengan Israel, ketahuilah Tuan Presiden. Hamas akan angkat senjata dan memberontak kepada saya besok pagi.” Clinton dikabarkan terdiam mendengar jawaban Arafat itu.

Pemerintah Barat merasa lebih baik mendukung para tiran Timur Tengah ketimbang menghadapi Islam fundamentalis.
Entah didasarkan pada kebenaran faktual atau sekadar prasangka. Mereka meyakini para penguasa di semua negara Arab jauh lebih liberal ketimbang rakyat dan ulamanya.

Para penguasa di Timur Tengah memang terkenal otoriter, tiran, tidak demokratis, dan feodal. Tapi ini lebih baik dipertahankan ketimbang mengambil risiko seluruh Dunia Arab jatuh ke tangan fundamentalis. Ini pilihan sulit bagi pejuang demokrasi dan kebebasan.

Begitu demokrasi diberikan kepada rakyat, maka kelompok fundamentalis akan mengikuti pemilu. Di Timur Tengah, besar kemungkinan, kelompok fundamentalis merebut kekuasaan. Lalu mereka mendirikan teokrasi sampai akhir zaman. Bagi mereka, demokrasi adalah: one man, one vote, one time .

Itulah opini yang selama ini digembar-gemborkan.

Dunia Arab masih terus terjebak dalam dilema untuk memilih antara negara otokratik atau percobaan demokrasi, tapi dimenangkan oleh kelompok yang tak akomodatif dengan prinsip Hak Asasi Manusia.

Tidak ada sedikitpun lahan bagi kemungkinan berkembangnya demokrasi dengan kebebasan di Dunia Arab. Itu yang menyebabkan masa depan politik kawasan ini akan selalu dalam jebakan pilihan sulit.

Karena kenyataan seperti inilah, untuk jangka panjang, Dunia Arab akan selalu menghasilkan iklim politik yang tak bebas. Kawasan ini tetap dipenuhi oleh ekstremisme keagamaan dan kekerasan. Pilihan lain, ketenangan semu dibawah kekuasaan otoritarian.

Dunia Arab selalu akan menghasilkan lingkaran setan antara negara represif versus kekerasan fundamentalisme.

Makin represif kebijakan rezim otoriter Arab, makin keras pula oposisi kalangan ekstremis. Ini mendatangkan gelombang represi negara yang makin keras lagi.

Situasi ini sangat berbeda dengan budaya demokrasi plus kebebasan. Kebebasan menghasilkan demokrasi. Dan demokrasi makin memperkuat kebebasan.

Jalan Dunia Arab adalah jalan kediktatoran yang potensiall menghasilkan oposisi ektrem. Terorisme menjadi pilihan oposisi yang ekstrem. Untuk menekan oposis yang mengeras, apalagi terorisme, pemerintahpun semakin diktator.

Lingkaran setan represi-kekerasan-represi melahirkan pula spiral kekerasan politik lainnya. Kediktatoran menghasilan terorisme. Dan terorisme yang membuat kedikatoran makin diktator lagi.

Pada kenyataanya, terorisme itu manifestasi dari hubungan buruk antara negara dan masyarakat. Dari hubungan buruk itu muncul keburukan berikutnya. Yaitu kelumpuhan ekonomi, stagnasi sosial, dan kebangkrutan intelektual.


Jumlah negara “bebas” atau “sebagian-bebas” di Dunia Arab adalah yang paling sedikit dibandingkan rata-rata global.

Menurut hasil riset tahunan Freedom House, pada 2002, 75% negara-negara di seluruh dunia dikategorikan sebagai “bebas” atau “sebagian-bebas.” Tapi kondisi lebih buruk terjadi di kawasan Afrika. Dan lebih buruk lagi di Dunia Arab.

Di kawasan Afrika, kategori “bebas” dan “sebagian-bebas” itu berada di bawah rata-rata global, yakni 60%. Di Dunia Arab, kondisinya lebih buruk lagi. Hanya 28% yang bisa dikategorikan sebagai “bebas” atau “sebagian-bebas”

Bagi Osama bin Laden, Dunia Islam masih kurang-Islam dibandingkan rezim Taliban di Afganistan.

Bagi Osama, problem paling besar Dunia Islam karena negara itu belum-cukup Islam dibandingkan yang seharusnya. Apa yang “seharusnya” itu baginya adalah model Taliban di Afghanistan.

Menurut Osama, hanya dengan kembali ke Islam, yakni Islam model Taliban, kaum muslim di seluruh dunia akan mendapatkan keadilan dan kejayaan. Demokrasi dan kebebasan itu sistem politik temuan Barat. Islam memiliki sistemnya sendiri. Menjadi Islam dalam pandangan Osama harus berhadapan dengan peradaban Barat.

Karena itu aneka negara di Dunia Islam, termasuk di Dunia Arab, yang menganut sistem politik demokrasi, harus ditumbangkan. Inilah langkah pertama untuk memperjuangkan kembali kejayaan Islam.

Langkah berikutnya adalah mengganti sistem politik di negara Muslim dengan sistem yang dilandaskan pada prinsip Islam yang ketat. Antara lain, itu mencakup penerapan Syariah. Lebih jauh lagi, perlu dilaksanakannya kekhalifahan.

Satu-satunya negara yang sudah menjalankan aneka prinsip Islam, menurut Osama, adalah rezim Taliban di Afghanistan.

Jika kita lihat data Democracy Index tahun 2019, rezim Taliban yang diidealkan Osama Bin Laden ini ada di rangking 141. Ini rangking dalam kategori yang sangat rendah tingkat demokrasi dan kebebasan.


Banyak orang di Barat percaya Islam itu seperti yang diyakini Osama bin Laden. Para pendeta seperti Pat Robertson dan Jerry Falwell atau para penulis seperti Paul Johnson dan William Lind sangat aktif menyebarkan gagasan. Mereka kampanyekan Islam agama kekerasan dan keterbelakangan.

Mereka meyakini Dunia Islam selalu dalam keadaan rusuh dan terbelakang. Contoh paling representatif dari keadaan itu bisa dilihat di Dunia Arab, tempat asal agama Islam.

Bahkan Para sarjana yang lebih terdidik di Barat mengembangkan kesimpulan yang sama. Walau mereka menyimpulkan dengan analisa yang lebih ilmiah. Fundamentalisme Islam punya penyebab yang lebih kompleks. Mereka melihat Islam secara lebih proporsional dan historis.

Menurut mereka Islam klasik yang berkembang pada abad ke-7 dan ke-8 memang terbatas. Khazanah ini hanya sedikit sekali memiliki gagasan yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan kebebasan.

Ellie Kedourie salah satu seorang sarjana yang menekuni poiltik Arab. Ia melihat gagasan perwakilan, pemilu, hak pilih, itu asing dalam tradisi politik Muslim. Ia menilai lembaga-politik yang didasarkan pada hukum atau keputusan parlementer, lembaga pengadilan yang bebas, tak kuat tumbuh di sana.

Aneka gagasan mengenai sekularitas negara, pemisahan negara dan agama, sepenuhnya gagasan yang bertentangan dengan keyakinan politik Muslim. Itu pandangannya.

Benarkah pandangan di atas?

Agama tak lain dan tak bukan dunia interpretasi. Sebagaimana agama lain, Interpretasi yang berbeda bahkan bertentangan dapat tumbuh.

Progresive Muslim, sebagi misal, adalah penganut Islam paling liberal yang tumbuh di Amerika Serikat. Kelompok ini mengembangkan paham dan interpretasi Islam yang sangat bebas, sejalan dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Bahkan di kalangan Progresive Muslim, wanita dapat menjadi Imam sholat bagi semua, termasuk pria. Mereka bahkan mengembangkan pula mesjid yang pro- LGBT.

Tafsir agama apapun, termasuk Islam, pada dasarnya sebuah spektrum. Selalu ada ulama dan ahli yang berdiri mulai dari interpretasi paling ujung kiri hingga ujung kanan.

Karena itu selalu ada harapan dari dunia agama. Termasuk harapan ini: Demokrasi dan Jalan Kebebasan adalah pilihan dunia Muslim di abad digital.

Mimpi itu dapat menginjak bumi, dimulai oleh pelopor. Diperlukan satu contoh saja: negara yang mayoritasnya Muslim yang berhasil stabil menjadi demokrasi yang bebas. Kawasan Negara Muslim lain dapat mengikuti karena sudah melihat contoh sukses.

Akankah Indonesia menjadi sang pelopor itu? Akankah Indonesia sebagai model bagi dunia Muslim? Akankah Indonesia, pada satu masa kelak, menjadi negara pertama dunia Muslim, negara yang mayoritas penduduknya Islam, yang berhasil masuk dalam kategori Full Democracy?

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *