Denny JA Tentang Isu Masa Depan Kebebasan (6) Menikmati Demokrasi, Tapi Menghianati Kebebasan

  • Kasus Jerman dan Perancis

*Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di Facebook Esoterika-Islamika, yang diasuh AE Priyono*

Swakarya.com. Tak hanya pemimpin otoriter mengekang kebebasan politik warga negara. Pemimpin yang terpilih secara demokratis di negara sangat maju bahkan dapat lebih ganas.

Walau Sang Pemimpin terpilih dalam kompetisi politik yang bebas, ketika berkuasa, Ia gunakan sumber daya tak hanya mengekang kebebasan politik warga negara. Ia bahkan secara bebas dengan kekuasaannya membuat tindakan yang rasis, dengan pembunuhan massal pula.

Sejarah Eropa menunjukkan kebebasan sering mengalami ketegangan dengan demokrasi.

Kebebasan liberal dinikmati oleh kelas menengah borjuasi Eropa setelah mereka melakukan perlawanan untuk membatasi kekuasaan monarki. Ketika perkembangan politik demokratik terjadi, perluasan kebebasan sipil dan politik menyebabkan politik massa juga berkembang.

Politik massa inilah yang menyebabkan ide-ide mengenai nasionalisme, sosialisme, dan komunisme populer. Pengembangan ideologi ultra-nasionalis, sosialisme, atau komunisme yang dibungkus oleh demokrasi menyebabkan kebebasan liberal menghadapi ancaman. Di sinilah bermulanya ketegangan antara kebebasan dan demokrasi.

Ultranasionalisme Wina tidak didukung oleh kaum borjuis liberal. Sebaliknya, paham ini dipungut Hitler untuk mengembangkan Nazisme Jerman.

Karl Leuger, seorang ultransionalis Wina, dipilih sebagai walikota Wina pada 1895. Leuger dikenal karena politik rasisnya yang anti Yahudi. Ia selalu berkampanye bahwa Yahudi adalah ancaman bagi Austria.

Kaum Yahudi harus dikubur di tanah atau dikemas hidup-hidup lalu dibuang ke laut. Raja Austria, Kaisar dinasti Hapsburg, Franz Joseph I, yang didukung oleh gereja Katolik menganggap terpilihnya Leuger sebagai walikota Wina adalah ancaman bagi Austria. Kelas menengah liberal Wina mendukung pandangan Raja.

Tapi aneka gagasan Leuger mempengaruhi Adolf Hitler. Ia pernah tinggal di Wina pada masa pemerintahan Leuger. Setelah pulang kembali ke Jerman, Hitler mengkombinasikan retorik-retorik sosialis dan ultranasionalis Jerman untuk mencari dukungan suara kelas buruh dan kelas petani.

Hitler menciptakan ideologi Nazi dan mendapatkan dukungan yang luas.

Nazisme muncul akibat perluasan demokrasi yang membangkitkan politik massa. Hitler mendapatkan ilham dari Karl Leuger dengan sosialisme Kristennya.

Dalam rangka menarik dukungan kelas buruh, Leuger mengkampanyekan retorika-retorika sosialisme. Sebaliknya ia juga mengkampanyekan retorika ultranasionalis untuk menarik dukungan kaum tani Austria.

Strategi inilah yang juga digunakan Hitler di Jerman ketika ia mendirikan partai Nazi. Hitler juga mengkombinasikan dua elemen ideologis: nasionalisme dan sosialisme.

Pada 1930, sebelas tahun sejak didirikannya, Nazi memperoleh posisi pada urutan kedua, dengan dukungan 18% suara. Pada 1932, Nazi mendapatkan dukungan 33% suara dan berada pada posisi pertama. Pada pemilu 1933, Nazi mendapatkan dukungan 44% suara setelah partai Sosial Demokrat bergabung.

Dengan kemenangan inilah Nazi membentuk pemerintahan baru Jerman yang disebut Republik Weimar.

Kebangkitan Nazisme yang terjadi karena krisis ekonomi menyebabkan Pemerintah Jerman kehilangan kepercayaan.

Pemerintahan Jerman pra Hitler sebenarnya didasarkan pada liberalisme dan konstitusionalisme. Tetapi krisis ekonomi terjadi sejak 1920. Krisis itu berpuncak pada Depresi Besar yang melanda Eropa pada 1930an. Situasi krisis menyebabkan pemerintahan konstitusional-liberal Jerman tidak berdaya. Ini menimbulkan Pemerintah Jerman kehilangan kredibilitas.

Hitler pun dengan cerdas memanfaatkan momen sejarah. Ia memprovokasi rakyat Jerman. Hitler mengkampanyekan bahwa krisis ekonomi dan politik terjadi akibat lemahnya kepemimpinan. Ia menjual sosialisme kepada kaum buruh. Ia menjual nasionalisme kepada kaum tani.

Hitler menyatakan krisis di Jerman memerlukan pemimpin yang kuat. Siapakah pemimpin yang kuat? Hitler menciptakan citra dirinya sendiri sebagai pemimpin yang kuat.
Tak hanya ditopang oleh personality yang berkharisma, Hitler juga ditopang oleh ideologi yang ia janjikan mengangkat kembali Jerman: Nazisme.

Makin lantang provokasi Hitler makin populer dan makin kuat dukungan rakyat kepadanya. Rakyat yang dalam krisis memang memerlukan drama dan narasi kuat untuk bangkit kembali.

Hitler dan Nazisme pun berkuasa. Sangat populer.


Selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Eropa liberalisme menghadapi tantangan politik massa. Kasus Wina dan Weimer memperlihatkan bahwa politik liberalisme akhirnya dikalahkan oleh politik massa.

Pada 1897, akhirnya dengan terpaksa kaisar Franz Joseph I mengakui kemenangan Karl Leuger sebagai walikota Wina yang didukung oleh massa buruh dan petani. Begitu juga Hitler memenangkan pemilu pada 1933 secara mutlak atas dukungan massa buruh dan petani Jerman.

Di Prancis, liberalisme anti-monarkial yang tumbuh kuat pada 1871 menghadapi perlawanan keras dari kiri maupun kanan. Di sisi kiri kaum liberal dihadang oleh kekuatan massa sosialis. Dari sisi kanan, kebebasan mendapatkan perlawanan yang tak kalah sengitnya dari pembela monarki, kaum aristokrat, dan gereja.

Liberalisme dan populisme otoritarian adalah dua tradisi politik yang saling bersaing di seluruh Eropa.

Demokrasi di Eropa, seperti ditunjukkan dari contoh Austria dan Jerman, tidak selalu mengarah pada lahirnya liberalisme. Jalan berliku menuju demokrasi liberal sering dilewati melalui episode revolusi sosial, fasisme, dan perang.

Corak perkembangan demokrasi liberal di Inggris berlaku di Denmark, Belgia, Nederland, dan negara-negara Skandinavia. Di kawasan Anglosaxon ini, demokrasi liberal tidak menghadapi tantangan otoritarianisme populis.

Tapi sejarah bangsa-bangsa besar Eropa kontinental seperti Jerman dan Prancis jauh menghadapi masa-masa yang lebih sulit karena kuatnya tradisi populisme otoritarian.

Demokrasi Inggris ditopang oleh borjuasi independen. Tapi borjuis di Jerman tergantung pada elite feodal. Borjuis di Perancis tergantung pada elit monarkhi.

Inggris memiliki kaum borjuis yang kuat. Inilah elemen yang tidak cukup dimiliki Jerman dan Perancis.

Revolusi industri di Inggris melahirkan kelas ekonomi dan politik yang independen. Pada gilirannya, kelas menengah ini mendorong tumbuhnya kapitalisme dan pasar bebas.

Demokrasi berkembang sejalan dengan tumbuhnya kapitalisme. Elite baru kelas borjuasi ini yang melumpuhkan elite lama aristokratik dan monarkial.

Di Jerman, sebaliknya industrialisasi didikte oleh campur tangan negara. Kemunculannya lebih banyak disebabkan karena subsidi dan regulasi. Sebagai akibatnya, kaum borjuisnya lemah, terpecah-belah, dan sangat tergantung pada negara. Inilah jenis borjuasi yang mendukung elite feodal.

Jerman memiliki tradisi birokratik yang kuat, dengan kaum borjuis yang lemah.

Negara Jerman jauh lebih progresif dan efektif dalam menangani problem-problem industrialisasi dan urbanisasi. Jerman juga efektif menangani masalah kesehatan publik, transportasi, dan pensiun – dibandingkan negara manapun di seluruh Eropa.

Tapi sebagai akibatnya, kelas pengusaha Jerman menjadi tergantung pada negara. Menjadi pengusaha-negara (komerzienrat) dianggap merupakan puncak karir serorang pengusaha. Jabatan itu dianggap lebih terhormat dibanding gelar gentleman atau yeomen dalam tradisi borjuasi Inggris.

Industrialisasi Jerman disponsori negara, tidak diciptakan kaum borjuis.

Bahkan sebagai negara yang sudah terindustrialisasi, Jerman tetap mewakili rezim campuran. Rezim ini di satu sisi mengakui masuknya elemen borjuasi baru. Namun di sisi lain, Ia tetap mempertahankan tatanan ekonomi-politik industrial lama. Ini berlangsung di sepanjang abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.

Friedrich Neuman, seorang intelektual liberal, memberi kesaksian pada ciri rezim campuran Jerman ini dengan mengatakan. Jerman seperti “pabrik modern yang didirikan di atas tanah pertanian lama, masyarakat industri yang dibangun di atas negara agraris.”

Tatanan politik lama Jerman tetap dipertahankan dengan ciri feodal. Inilah penyebab lambannya Jerman menuju demokrasi liberal.

Sampai pada tahun 1891, 62% pemerintahan domestik Prussia dikuasai para bangsawan. Konsentrasi untuk jabatan-jabatan itu bahkan ditekankan pada urusan-urusan luar negeri.

Pada tahun 1941, aneka jabatan pemerintahan yang berkenaan dengan urusan asing dikuasi oleh delapan bangsawan tinggi, 29 pangeran, 20 baron, 54 bangsawan kecil, dan hanya 11 pejabat dari orang kebanyakan.

Jerman sebelum perang dunia kedua menjadi contoh nyata. Pemimpin yang dipilih secara demokratis dapat menghianati demokrasi. Pemimpin yang dipilih secara bebas dapat mengkhianati kebebasan.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *