Analisis Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020

Penulis: Sabihis, S.Pd, Anggota JPPR Babel

Swakarya.com. Perhelatan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) memang telah usai namun, banyak hal meski menjadi pembelajaran agar sistem proses serta hasil pemilu semakin baik.

Guru Besar ilmu politik Universitas Hasanuddin Makasar Prof Muhammad pernah mengatakan penyelengara pemilu harus menjadi bagian dari solusi “the part of solution bukan sebaliknya menjadi bagian dari masalah “the part of problem”.

Pada pilkada 9 desember 2020 merupakan pilkada yang mempunyai keunikan tersendiri, diantara nya baru kali ini pemilu ditengah-tengah merebaknya covid-19 sehingga dalam proses awal hingga pemungutan dan perhitungan suara harus menaati protokol kesehatan.

Jadi secara juknis di TPS ada aturan-aturan yang baru dipraktekan, misalnya memakai masker, mengecek suhu tubuh, mencuci tangan menjaga jarak dan menghindari kerumunan masa di TPS.

begitu juga mengenai logistik baru pemilu kali ada sarung tangan, handsaitaizer, faceshil, handsoft dll.

Penulis menilai begitu detail penyelengara pemilu dalam menangani covid-19 hanya satu yang kurang pada pemilu 9 desember 2020 yang lalu vaksin covid-19 yang tidak disediakan di TPS, dan hal unik ini pertama kali dalam sejarah kepemiluan bangsa Indonesia.

keunikan yang kedua aplikasi sirekap perdana digunakan pada pilkada 9 desember 2020 lalu, hal ini mempunyai pengalaman tersendiri bagi penyelenggara pemilu walaupun ada beberapa tempat pemungutan suara (TPS), ada yang tidak bisa mengirim keserver pada hari perhitungan suara.

Perludem berpandangan pemilihan kepada daerah (Pilkada) lebih baik diadakan pada 2022 atau 2023, bukan bersamaan dengan pileg atau pilpres pada 2024.

Perludem beralasan ada sejumlah dampak yang bisa timbul jika pilpres, pileg dan pilkada dilaksanakan secara bersamaan pada 2024.

“itu usulan kita jadi memang betul bahwa perludem berpandangan bahwa pilkada itu tidak tepat kalau harus diselengarakan seperti desain yang sekarang yaitu pada November 2024,” kata anggota dewan pembina perludem Titi Anggraini saat dihubungi selasa (detikNews 12/01/2021).

ada beberapa hal yang menjadi alasan perludem berpandangan bahwa pilpres, pileg dan pilkada tidak diserentakan pada 2024 nanti.

Perludem perpandangan pemilihan kepala daerah (Pilkada) lebih baik diadakan pada 2022 atau 2023, bukan bersamaan dengan pilpres dan pileg pada 2024 mendatang karena ada sejumlah dampak yang bisa timbul jika diserentakan pada 2024.

Pileg dan pilkada akan sangat mungkin tenggelam dengan pemilu presiden, akibatnya karena isu terlalu banyak dan pemilu presiden terlalu dominan.

Ini akhirnya bisa membuat pemilih tidak menggunakan hak pilihnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, yakni berdasarkan visi, misi dan program, atau berdasarkan politik gagasan.

“Titi juga menyampaikan yang menjadi pelajaran dari pemilu 2019, fokus konsentrasi pemilih semua tersedot ke pemilu presiden akhirnya membuat suara tidak sah DPR dan DPD jadi sangat besar, invalid vote atau suara tidak sah DPD itu bahkan sampai 27 juta atau setara 19 persen, DPR sampai 17 juta atau setara dengan 13 peraen, itu angka yang sangat tinggi sekali dan itu ditenggarai karena konsentrasi pemilih terlalu besar ke pilpres” tulisnya dalam keterangan.

Analisis perludem akan ada dampak akses politik yang berat bagi penyelenggara dan pemilih jika pilkada disatukan dengan pileg dan pilpres pada November 2024, apalagi di 2019 dengan hanya pileg dan pilpres saja ada 400 orang lebih petugas KPPS yang mengalami ekses kelelahan dan meninggal, tentu kita tidak menghendaki tragedi yang sama terjadi kembali.

Demokrasi adalah kontestasi mengenai proses, sistem dan pelaksanaan nya harus menjadi lebih baik dan terus berevolusi menjadi lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait