Ahmad Gaus AF: Kebudayaan Milenial Belum Terbentuk

Jakarta, Swakarya.Com. Pada 23 Januari 2020 lalu, redaksi Swakarya dalam lawatan ke Jakarta menemui Ahmad Gaus AF, seorang penulis, penyair, dan dosen sastra dan kebudayaan di Swiss German University (SGU), Tangerang, Banten.

Pada pertemuan tersebut, ditemani kopi dan pisang goreng keju coklat di Java Bean Cafe di sebuah mal di Jakarta Selatan.

Pihak swakarya.com menyinggung seputar masalah kebudayaan, politik, teknologi informasi, dan budaya milenial.

Hal pertama yang ingin diketahui, bagaimana anda melihat eksistensi kebudayaan kita di era digital yang diserbu oleh budaya milenial sekarang ini?

Jawab Ahmad Gaus dengan lantang. Menurutnya, kebudayaan kita sekarang ini tanpa kebudayaan. Jadi kita hidup di era hampa budaya.

“Mengapa, karena yang disebut kebudayaan itu sebenarnya adalah pergerakan yang dinamis dari satu titik ke titik lain. Nah, itu kan tidak ada. Kebudayaan kita terkungkung oleh asumsi-asumsinya sendiri yang melawan arus, khususnya arus kebebasan yang melekat pada perkembangan teknologi informasi seperti sekarang,” tuturnya

Selanjutnya hal kedua yang ingin diketahui, mengapa poinnya harus kebebasan?

“Lho, logika dari teknologi informasi itu kebebasan. Walaupun itu bukan barang yang baru sebenarnya, karena sudah ada sejak Revolusi Perancis dan zaman Pencerahan, tapi kebebasan yang dibawa oleh teknologi informasi tidak bersifat politis melainkan kultural. Karena itu kalau bisa dikelola dengan tepat akan melahirkan kebudayaan baru yang sangat besar,” kata Gaus

Kemudian ia memberikan asumsi lebih mengenai hal tersebut. Tapi kan kita belum siap dengan konsekuensi itu, maka kita selalu melihat ada upaya untuk membuat pembatasan, bahkan pelarangan.

Selain karena kebebasan masih dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, juga karena orang tidak mengerti bagaimana menggunakan kebebasan.

“Dikiranya kebebasan itu bebas menyebarkan hoax, ujaran kebencian, dsb,” terang dia.

Padahal kalau logika teknologi informasi berupa kebebasan itu diapresiasi dengan benar pasti akan mendorong perubahan yang besar sekali dalam banyak aspek kehidupan kita.

Sebab sebelumnya kita memang tidak memiliki tradisi kebebasan. Padahal itulah yang membuat bangsa-bangsa Barat maju dan modern. Kan itu yang dulu dibilang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan.

Tanya pihak swakarya.com lebih terperinci. Kalau begitu masalahnya ada di mana sebetulnya?

“Masalahnya ada pada proses dialektika yang tidak selesai dalam transfer budaya teknologis. Konkretnya begini. Orang mungkin beradaptasi dengan teknologi modern, dan berinteraksi dengan lingkungan kultural yang dibentuknya,” ucapnya.

Tapi itu belum cukup. Untuk bisa melahirkan kebudayaan yang baru, orang harus melakukan identifikasi diri di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.

Sehingga ia menjadi bagian yang positif dari kebudayaan itu. Dengan cara seperti itu maka akan ada pelembagaan melalui tindakan, pembentukan narasi, produksi pengetahuan-pengetahuan baru, dsb, yang akan mendorong terbentuknya kebudayaan baru.

Tanya lebih lanjut. Apa itu juga yang menjadi problem kebudayaan milenial?

“Ya sama. Kebudayaan milenial yang didasarkan pada teknologi internet itu tidak atau belum terbentuk karena proses dialektikanya yang tadi itu tidak selesai. Juga kerangka dasarnya belum terrumuskan sehingga belum mampu merumuskan pandangan dunia atau world view,” tuturnya.

Pada sebagian orang mungkin sudah. Sebagian lagi terbentuk secara sporadis. Sebagian lagi masih bingung mau mencari tempat di mana harus berdiri dalam arus perubahan ini.

Lantas pihak swakarya.com ingin melihat ketegasan Ahmad Gaus dengan tanya seperti ini, Jadi maksudnya budaya milenial itu belum ada?

“Belum. Karena budaya itu terbentuk ketika kerangka dasarnya sudah terrumuskan, baik melalui konvensi maupun narasi yang relatif stabil. Sehingga dari sudut sosiologi pengetahuan kita bisa melihat realitas sosial seperti apa yang dibayangkan. Sebab kebudayaan itu mula-mula memang imajinasi, yaitu imajinasi tentang masa kini dan masa depan,” tegas gaus.

Kalau sekarang kan belum. Bagaimana budaya milenial mendefinisikan kehidupan, itu saja belum ada. Yang ada sekarang ini realitas semu tentang kebudayaan milenial sebagai produk dari revolusi teknologi informasi sejak awal milenium ketiga.

Tapi sebenarnya tidak terjadi apa-apa, kecuali pergerakan di pasar mode dan gaya hidup karena istilah milenial saat ini lebih merupakan derivat dari kapitalisme juga. Jadi yang paling menonjol ya budaya konsumerisme juga.

Bagi Ahmad Gaus kebudayaan milenial itu idealnya seperti apa sih?

Saya tidak berbicara yang ideal. Tapi saya membayangkan kebudayaan milenial itu melahirkan sebuah paradigma baru yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan sebelumnya.

“Sebagai paradigma dia muncul dengan karakter yang sangat kuat dengan pemikiran-pemikiran tertentu yang memengaruhi orang yang hidup pada zamannya. Kalau semata-mata teknologi informasi itu membawa perubahan pada kehidupan manusia, itu jelas,” ujarnya.

Tapi perubahan kan juga ada gradasinya. Pergeseran dari telpon rumah ke telpon genggam itu perubahan. Dari SMS ke BBM lalu ke WA itu semua perubahan. Tapi apakah perubahan-perubahan itu memberi dampak pada cara orang berpikir, sehingga secara kolektif melahirkan kebudayaan yang baru, ternyata kan tidak.

Pihak Swakarya.com pun menelusuri lebih dalam mengenai perkembangan teknologi, dengan menyinggung persoalan ini. Berarti teknologi informasi gagal melahirkan perubahan budaya?

Bagi Gaus “Mungkin kita tidak bicara soal gagal atau berhasilnya, sebab teknologi itu sendiri ‘kan produk budaya. Tapi kenyataan bahwa kita hidup di era teknologi informasi sekarang ini ternyata sama saja dengan ketika orang hidup di era teknologi pertanian. Pikiran kita belum banyak berubah,” kata dia.

Teknologi informasi yang membawa kebebasan tidak lantas membuat orang mampu menghargai kebebasan. Karena itu kita masih menyaksikan orang dipersekusi karena memiliki pandangan politik yang berbeda, misalnya.

Masih ada kelompok masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah agama lain, dsb. Itu contoh yang sangat telanjang bahwa teknologi informasi yang membawa nilai-nilai kebebasan, tidak menghalangi orang untuk berpikir sektarian dan bersikap primitif.

Lalu, Apakah itu menunjukkan adanya kesenjangan antara produk teknologi modern dengan mindset masyarakatnya?

“Bisa begitu. Sebab teknologi modern itu bukan kita yang buat, kita hanya konsumen. Jadi kesenjangan itu sudah tercipta secara apriori. Beda dengan ketupat, karena kita yang buat, lahir dari budaya kita, maka kita bisa menyatu dengan ketupat. Buktinya lebaran tanpa ketupat itu jadi nggak afdol ‘kan hehehe,” jawabnya.

Nah, jadi itulah yang membuat kita tidak bisa banyak berharap bahwa teknologi modern seperti internet dsb itu dengan sendirinya akan melahirkan suatu kebudayaan baru dalam masyarakat kita. Termasuk kebudayaan milenial itu.

Kalau begitu istilah kebudayaan milenial itu salah kaprah, dong?

Jelas. Malah saya menduga yang disebut budaya milenial itu tidak lain dari budaya pop, yang telah berkembang sejak dekade 1960-an.

“Hanya saja ini budaya pop tahap lanjut yang ditumbuhkan oleh internet dan media sosial, kalau budaya pop awal hanya oleh media massa konvensional,” jelasnya.

Tanya pihak swakarya.com dalam perkembangan dari media konvensional ke internet lalu melahirkan era digital. Apakah itu bukan perubahan penting dalam kebudayaan?

Perubahan penting dalam industri belum tentu perubahan penting dalam kebudayaan. Sebab yang disebut era digital itu ‘kan industri 4.0 dan itu hanya kelanjutan belaka dari era industri gelombang pertama, kedua, dan ketiga.

“Tapi masalahnya apakah era teknologi informasi ini memperlihatkan sebuah retakan atau epistem atau diskontinuitas dari era sebelumnya sehingga bisa disebut sebagai lahirnya kebudayaan baru. Jadi epistem itulah yang menentukan apakah sebuah zaman bisa disebut zaman baru atau bukan,” tanya dia kembali.

Pihaknya swakarya.com pun menggatikan pertanyaannya pada pandangan sisi politik Ahmad Gaus pada budaya. Sekarang bagaimana anda melihat hubungan kebudayaan dengan politik?

Menurutnyq, politik harus menjadi bagian dari kerangka besar kebudayaan. Ia harus dihidupi oleh nafas budaya, dan lahir sebagai anak budaya. Tapi yang terjadi di kita justru sebaliknya. Kebudayaan menjadi subordinat dari politik.

“Maka yang terjadi kebudayaan kita remuk redam dicengkram oleh tangan-tangan politik kekuasaan yang sama sekali tidak memiliki mata hati untuk melihat jauh ke depan. Politik menjadi anak durhaka kebudayaan,” ucap Gaus juga mahasiswa doktoral Ilmu Politik.

Lalu pertanyaan lanjutan. Apa memang politik kita sudah separah itu?

“Lho, kalau tidak percaya lihat saja bagaimana politik dengan leluasa membelah masyarakat berdasarkan identitas primordial seperti dalam Pilkada dan Pilpres tempo hari. Ini bukan saja berbahaya bagi perkembangan demokrasi tapi juga berbahaya bagi kebudayaan karena merobohkan bangunan besar kita sebagai bangsa,” jelas Gaus.

Imajinasi orang tentang budaya kita yang luhur itu luluh lantak. Dan itu sulit sekali dipulihkan karena residunya tertanam dalam pikiran yang sudah terkontaminasi oleh kebencian sektarian.

Singgung pihak swakarya.com, Kenapa itu bisa terjadi? Bukankah kebudayaan memiliki mekanisme recovery untuk memulihkan dirinya sendiri?

“Logikanya begini. Kalau orang sehat dia punya antibodi untuk menangkal bakteri  yang menyerangnya. Tapi kalau dia sudah sakit, maka dia butuh antibiotik,” jelasnya.

Dalam terheran-heran pihak swakarya.com melanjutkan pertanyaannya. Jadi maksudnya kebudayaan kita sudah sakit?

“Persisnya sudah tidak terurus. Karena kebudayaan kita memang sudah lama tidak dikerjakan dengan serius. Kebudayaan kita dibiarkan terombang-ambing di lautan globalisasi yang ganas. Paling jauh yang kita lakukan adalah penyelamatan budaya-budaya kita sendiri melalui apa yang disebut revitalisasi, kongres kebudayaan, dsb,” jawab Gaus.

“Tapi kegiatan-kegiatan semacam itu kalau tidak berhasil merumuskan masa depan Indonesia dengan jelas ya hanya berhenti sebagai proyek saja,” tambahnya.

Pada pertanyaan sesi terakhir, menyinggung soal kehadiran budaya generasi milenial. kapan kira-kira kebudayaan milenial itu akan benar-benar hadir di hadapan kita?

Bagi Gaus, kebudayaan milenial baru terbentuk dengan mapan kalau ia mampu membuat dirinya berbeda secara epistemik dengan kebudayaan-kebudayaan sebelumnya.

“Jadi kalau sudah ada diskontinuitas yang menampilkan karakter-karakter khusus, di situlah baru kita bisa bicara tentang budaya milenial. Kalau belum, ya nanti saja, hehee,” tutupnya sambil tertawa.

Biodata singkat :
Ahmad Gaus AF lahir di Tangerang, 10 Agustus 1968, dikenal sebagai penulis biografi, esais, dan penyair. Alumnus S1 Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, dan S2 Universitas Paramadina, Jakarta, ini sehari-hari bekerja di Lembaga Sensor Film (LSF) RI.

Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Penerbit Paramadina, dan hingga sekarang masih mengampu mata kuliah bahasa dan kebudayaan di Swiss German University (SGU), Tangerang, Banten.

Ia menulis biografi tokoh-tokoh pluralisme seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Selain itu ia juga menulis puisi. Buku puisinya yang sudah terbit adalah: Kutunggu Kamu Di Cisadane: Antologi Puisi Esai (2013) dan Senja di Jakarta (2017). Kini ia tengah menempuh program doktor ilmu politik di Universitas Nasional, Jakarta.

Penulis : Tahir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait