Academic Burnout, Fenomena Mental Mahasiswa yang Lemah

Penulis : Kartika, Mahasiswa Universitas Bangka Belitung


Membicarakan mahasiswa seperti mengingat ruh-ruh pergejolakan masalalu. Mahasiswa selalu identik dengan perlawanan untuk melawan ketidakadilan, mahasiswa juga dinilai sebagai akademisi yang dapat merubah kondisi Indonesia melalui pemikiran yang kritis penuh solusi. Tidak hanya belajar, kegiatan mahasiswa padat karena tergabung di dalam organisasi dan juga bekerja.

Berorganisasi sudah tentu menjadi salah satu alternatif bagi sebagian mahasiswa. Terlebih lagi anak rantau, tanpa organisasi di dalam atau di luar kampus serasa kehidupan kuliahnya sangat sepi jika hanya dibarengi proses belajar tanpa ada interaksi dengan orang lain, terlebih lagi berorganisasi juga menjadi salah satu wadah untuk memenuhi CV.

Bekerja juga menjadi hal sampingan yang dilakukan mahasiswa untuk berlatih mandiri atau memang keperluan untuk bertahan hidup., mengingat kebutuhan akan hidup yang semakin meningkat seiring berkembangnya zaman.

Aktivitas bebarengan itu menuntut mahasiswa agar dapat membagi waktu dengan baik, sehingga pokok tujuan utama yaitu lulus kuliah dapat terpenuhi. Di dalam realita, seringkali dijumpai mahasiswa yang melebihi 8 semester dalam merampungkan studinya.

Apakah kasus itu jelek? Kasus itu buruk? Kasus itu patut dibasmi karen seharusnya mahasiswa lulus tepat waktu? Belum tentu ya atau tidak jawabannya karena banyak sekali variabel faktor yang mempengaruhi. Dan yang terpenting, tulisan penulis kali ini tidak sedang membahas baik atau buruknya lulus kuliah tidak tepat waktu.


Hal yang perlu diperhatikan oleh mahasiswa adalah peluang terjadinya benturan waktu antara kuliah, organisasi, atau bekerja. Peluang itu dapat mengakibatkan mahasiswa pecah konsentrasi sehingga menimbulkan berbagai efek buruk. Salah satunya adalah burnout pada mahasiswa.

Burnout dalam bidang akademik disebut academic burnout (Schaufeli, Martinez, Pinto, Salanova & Barker, 2002). Academic burnout mengacu pada stress, beban atau faktor psikologis lainnya karena proses pembelajaran yang diikuti mahasiswa sehingga menunjukan keadaan kelelahan emosional, kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang rendah ( Yang, 2004).

Selain peluang terjadinya kegiatan secara bersamaan, tugas yang banyak dari aktivitas yang berbeda membuat mahasiswa sulit untuk menyusun skala prioritas, mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Terlebih lagi jika mahasiswa itu bekeja maka ia dituntut harus menyeleaikan pekerjaannya dengan prosefional. Banyak waktu belajar atau mengerjakan tugas yang dicolong oleh mahasiswa itu sendiri karena untuk memenuhi tanggung jawab yang lain.

Kelelahan fisik dan psikologi dapat terjadi akibat ekspektasi rasa damai dan tentram yang tidak didapatkan.

Seringkali kesempatan untuk mengurus diri sendiri seperti mencuci baju, beres-beres kamar, skincare, olahraga, bahkan yang terdasar seperti mandi dan makan sering terlewatkan.

Hal seperti itu sering terjadi secara berkelanjutan sehingga menimbulkan perasaan frustasi karena tak bisa mengurus diri sendiri. Sering juga terdapat minat untuk mengkualitaskan diri dengan mengikuti ajang perlombaan namun minat itu tak ada eksekusi karena sibuk dan minimnya waktu luang.

Frustasi dengan hasil yang tidak maksimal mahasiswa menghakimi diri sendiri sebagai orang yang tidak kompeten.

Problematika seperti itu lebih dominan berefek kepada masing-masing individu (rasa bersalah yang berkepanjangan), namun tidak memungkinkan juga untuk menimbulkan efek terhadap sosial.

Ketika mahasiswa sudah mulai frutasi dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka rasa peduli terhadap lingkungan dan orang lain pun berkurang. Menutup diri dari dunia luar dengan harapan dapat membenahi diri sendiri. Banyak yang tidak sadar pada kkondisi yang memprihatinkan seperti itu.

Rentang umur mahasisa untuk jenjang S1 adalah 17-22 tahun. Di umur itu terjadi juga krisis identitas, kondisi yang cukup kompleks yang dirasakan oleh masing-masing individu terhadap jati diri mereka.

Di umur itu juga sering dilanda dengan quarter life crisis, kehawatiran tentang masa depan, keuangan, percintaan, nilai kehidupan, ingin diakui dan lain sebagainya.

Maka tidak heran jika krisis identitas, quarter life crisis, aktivitas kuliah, organisasi, dan bekerja dapat menimbulkan burnout pada mahasiswa. Kelelahan emosional, rendahnya motivasi, sinis dengan keadaan, apatis, dan perasaan yang tidak diinginkan akan bertemu secara bersamaan sehingga menciptakan kondisi yang menghawatirkan.

Kondisi itu lebih kepada psikologi mahasiswa lalu menciptakan pemikiran pesimis terhadap masa depan.

Academic burnout berkorelasi dengan sejumlah variabel psikologis, salah satunya adalah academic self-efficacy. Academic self-efficacy mengacu pada keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan tugas–tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun makalah (Zajacova, Lynch, & Espenshade, 2005). Rahmati (dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) menyebut bahwa mahasiswa yang tidak memiliki academic self-efficacy yang memadai menjadi rentan terhadap academic burnout dan kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi.

Mahasiswa dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi ketika menghadapi masalah akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba untuk menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah mahasiswa. Begitu juga sebaliknya (Charkhabi et al. dalam Arlinkasari & Akmal, 2017).


Academic self-efficacy menjadi penting agar dipahami oleh mahasiswa. Karena terlepas dari prioritas organisasi, kuliah, atau bekerja, bukankah mahasiswa harus tetap mempertahankan prestasi akademiknya, menyelesaikan pendidikannya, dan memperoleh ilmu dari pendidikan yang dijalaninya? Memahami antara kemampuan dan kemauan pada diri setiap individu menjadi hal yang wajib sehingga dapat mengatur dan merencanakan masa depan dengan baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *